top of page

Siaran Pers: REFORMA AGRARIA GAGAL, PEMISKINAN SOSIAL DILANGGENGKAN! (25 Maret 2017)

REFORMA AGRARIA GAGAL, PEMISKINAN SOSIAL DILANGGENGKAN!

Petani adalah soko guru bangsa. Tulang punggung negara. KH. Hasyim Asyari menyebut sebagai pahlawan negeri. Hadirnya UUPA sebagai produk politik hukum anti-kolonialisme tak lantas diimplementasikan secara paripurna oleh negara. Justru negara lebih banyak menghianati Pasal 33 UUDNRI 1945 dan UUPA. Negara dalam hal ini lebih banyak memfasilitasi modal besar untuk menguasai lahan. Hal ini tentu ironis mengingat kondisi petani yg belum sejahteta karena macetnya agenda reforma Agraria.

Oleh karena itu, konsolidasi Papanjati menyoroti kedaulatan pangan dan keadilan Agraria tidak akan terwujud manakala ketidakadilan Agraria terus dipelihara, ketimpangan selalu di kompetisikan dan lemahnya political will penguasa untuk menyelesaikan berbahagia problem Agraria antara lain:

1. Bahwa konflik agraria yang terjadi di Jawa Timur terjadi secara sistematik dan meluas serta mengakibatkan penyengsaraan dan pemiskinan sosial. Bahkan, kekerasan demi kekerasan terus menerus terjadi, sebagaimana terjadi di Wongsorejo Banyuwangi, intimidasi dan kriminalisasi di kasus Sengon Blitar.

2. Konflik tanah dan ketidakadilan sosial yang demikian disebabkan oleh perampasan tanah masa lalu yang dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan Negara/PTPN maupun Swasta, TNI, dan Perhutani. Jumlah kasus tanah mencapai 102 kasus, tersebar di 16 Kabupaten. Ini menempatkan Jatim sebagai Provinsi yang paling produktif penyumbang konflik Agraria nasional. Kasus ketidakadilan agraria ini dibiarkan mangkrak tanpa penyelesaian, tanpa upaya pengungkapan kebenaran, pengakuan hak atas tanah rakyat. Bahkan manipulasi administrasi pertanahan melahirkan ketidakadilan dan pemiskinan sosial kian parah situasinya.

3. Di sisi lain, penyusutan lahan produktif untuk alih fungsi proyek-proyek pembangunan, serta peralihan kawasan hutan lindung menjadi area pertambangan, telah melahirkan situasi penghancuran ekologi dan perusakan lingkungan, yang berdampak pada kehidupan sosial budaya dan ekonomi rakyat. Bahkan, desentralisasi melahirkan arogansi elit daerah dengan didukung aparat keamanan yang memicu kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat, sebagaimana terjadi dalam kasus industry tambang emas PT BSI di Gunung Tumpang Pitu Banyuwangi dan pasir besi di Lumajang.

4. Ketimpangan penguasaan dan pemilikan lahan perkebunan dan hutan, memperlihatkan bisnis yang menguntungkan segelintir pemilik modal serta bisnis militer yang berpotensi melanggengkan praktek koruptif yang melemahkan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab. Kasus Sumberanyar dan Alas Tlogo di Pasuruan berhadapan dengan TNI AL adalah bukti tersebut, begitu juga kasus tanah di Malang Selatan, kasus penguasaan Perkebunan gunung Nyamil oleh PUSKOPAD dan kasus penguasaan perkebunan Ponggok oleh AURI di Blitar.

5. Konsentrasi penguasaan lahan berskala besar untuk industri perkebunan nyatanya tidak memberikan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Alih-alih sejahtera, justru masyarakat sekitar hanya menjadi buruh. Pada kenyataannya, kebijakan tersebut tetap melanggengkan ketimpangan Agraria. Ini dapat dilihat di Jatim yg terdapat 126 perusahaan perkebunan (swasta dan PTPN) yg menguasai lahan skala besar dan diduga tidak melakukan kewajiban sebagaimana perintah UU.

6. Banyaknya Kriminalisasi terhadap petani dan pejuang keadilan agraria di Indonesia dalam satu dasawarsa ini, memperlihatkan pula karakter pemerintahan yang tak berubah paradigma lama yang mengandalkan otoritas hukum untuk menindas. Hal ini juga menunjukkan bahwa aparat penegak hukum (APH) senyatanya tidak memahami esensi konflik Agraria. Kasus Petani Tulang bawang, Sumatra, Petani Surokonto, Jateng, Kasus tanah Sengon yang memenjarakan pak Daroini hari ini di Blitar adalah realitas penindasan tersebut.

7. Kami semua merasa ketidakadilan agraria mengancam kedaulatan pangan, krisis ekologi, dan penghancuran sosial budaya, yang situasinya terjadi terus menerus tidak hanya di Jawa Timur, melainkan pula di dalam kasus Rembang dan Pati dalam upaya menolak industri semen, serta banyak tempat lainnya. Realitas inilah yang menegaskan apa yang dicitakan Jokowi dalam agenda Nawacita bertolak belakang dengan kenyataan lapangan.

Kami menuntut Jokowi mempertanggungjawabkan situasi ketidakadilan agraria dan keterpurukan ekologi dan sosial yang mengancam kedaulatan rakyat atas hak-hak sumberdaya alam yang seharusnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan menyegerakan penuntasan konflik agraria sebagai mandat konstitusionalisme Indonesia.

Ds. Dukuh Dempok, Kec. Wuluhan, Jember, 25 Maret 2017

Paguyuban Petani Mandiri Jawa Timur (PAPANJATI), Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Pusat Studi Hukum dan HAM (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Malang Corruption Watch (MCW), YLBHI-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA), KontraS Surabaya, Koalisi Masyarakat Pegiat Antikorupsi dan Peradilan BERSIH (KOMPAK BERSIH), CHRM2 ( Centre for Human Rights Multiculturalism and Migration) UNEJ dan BEM Fakultas Hukum Unair.

Cp. Lasminto, Papanjati dan Ketua Forum Komunikasi Tani Sumberanyar Pasuruan +62 852-3410-0087


bottom of page